Kampung Halamanku
Handil Gembira, Anjir
K.m 14 Kecamatan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas. Semua hal yang pernah kuingat
tentang kampungku adalah biasa saja. Sangat biasa, ingatan pertama tentang
kampungku tampak seperti gambar yang samar, yaitu pada suatu malam aku duduk di
tengah sebuah bangunan dengan tiga orang lain. Kami sedang menggoda seekor
ayam. Belasan lelaki duduk bersila di atas tikar purun. Meski samar, hal ini ku
ingat, yaitu lampu minyak tanah direndahkan ke kandang yang dibuat dari kaleng
susu yang di isi dengan minyak tanah dengan tumpuan satu sumbu yang menyala. Ku
ingat suara ayam bertengkar dibawah lantai papan ulin, dan kuingat kampungku
yang penuh dengan keheningan dan rimbunnya pohon Ketapi dan Kasturi.
Kampungku yang jauh
dari keramaian kota dan gemerlap kemilai lampu-lampu malam yang menghiasinya,
kampung yang tenang dan damai walau tanpa cahaya penerangan, dengan penerang
alami, sang rembulan.
Kampungku yang
terletak di wilayah Anjir, Anjir yang kalau aku baca di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia artinya adalah tembusan air atau terusan, tepat di depan
kampungku inilah air pasang dan surut bertemu bahkan bertabrakan
Ada tiga musim yang
selalu kukenang dikampungku. Musim hujan, musim panen usai dan musim tenang.
Musim yang pertama
adalah musim hujan.
Di saat musim hujan,
penuhlah air di sawah-sawah petani kampungku, telur-telur ikan pun menetas,
bahkan telur-telur kodok juga menetas. Yang selalu mengingatkanku betapa
berlimpah rejeki yang diberikan tuhan ke kampung kami. Saat bulan pertama air
memenuhi sawah dan telur ikan menetas, warga kampung bergerombol menuju
sawah-sawah yang belum di tanam benih padi untuk melakukan suatu pekerjaan
menangkap ikan-ikan kecil yang baru menetas.
Disaat musim tanam
tiba, disaat itulah kampungku banyak didatangi orang-orang jauh yang hobinya
memancing, karena ikan-ikan disawah sudah cukup untuk dipancing dengan alat
pancing biasa mereka sebut “Kacar”.
Di musim tanam inilah
halaman sekolah menjadi lapangan sepak bola dadakan, karena lapangan bola yang
dimusim kemarau ada di sawah telah dipenuhi dengan air dan ikan-ikan.
Ketika musim panas
dan musim panen padi tiba, kampung kamI biasanya banyak dilewati orang-orang
luar yang mencoba mencari kerjaan dengan cara menanam padi atau memanen padi.
Ketika musim panen
tiba, kampungku dipenuhi dengan
benih-benih yang tersusun rapi di depan setiap rumah dikampungku, karena
hampir semua pekerjaan orang dikampungku adalah sebagai seorang petani. Dan
anjir terkenal dengan berasnya.
Musim yang kedua
adalah musim panen usai.
Setiap musim panen
usai, kulihat anak-anak maupun orang dewasa bermain sepak bola di sawah yang
telah menjadi lapangan sepak bola setelah masa panen usai. Itulah lapangan
sepak bola dadakan yang hanya ada di musim kemarau.
Dimusim panen ini
juga sungai yang berada di depan kampung kami mengalami pendangkalan, pada saat
ini lah warga kampung mengeluarkan alat-alat penangkap ikan mereka dan turun ke
sungai untuk menangkap ikan, dan aku saksikan betapa penuhnya sungai dengan
orang-orang yang sedang menangkap ikan.
Sedangkan musim yang
ketiga adalah musim tenang.
Musim tenang ini
dijadikan petani yang memiliki kebun karet untuk menjadi pengambil getah karet,
betapa sesak hidung kami ketika hasil-hasil getah karet yang dicampur dengan
cuka, dan membusuk lewat tiap hari dikampung kami, namun warga mengatakan itu
adalah aroma uang.
Jarak kampungku ke
Banjarmasin adalah kira-kira 45 km. walaupun sekarang aku kuliah di
Banjarmasin, aku tetap tinggal dikampungku, aku pulang pergi dengan motorku
dari kampungku ke kota Banjarmasin.
Semua itu aku lakukan
karena menurutku, kehidupan di kampungku lebih mendamaikan hatiku, karena di sanalah
aku dilahirkan, dan dibesarkan. Dimana aku di ajarkan makna kehidupan dan kerja
keras. Kampung yang selalu aku rindukan, kampung yang selalu memberikan
kegembiraan seperti namanya Handil Gembira. Di samping kanan kampungku ada
kampung handil Aman, konon katanya itu kampung yang aman. Dan di samping kiri
kampungku ada handil Cempaka, konon orang kampung itu banyak yang bekerja ke cempaka.
Untuk mendulang emas.
Di kampungku ada
sebuah warung kopi, yang muda dan tua kumpul menjadi satu di sana. Yang muda
membicarakan orkes dangdut, organ tunggal. Yang orang tuanya membicarakan
tentang harga padi.
Itulah kampung yang
selalu menjadi kehidupan, pengalaman, dan mimpiku selalu melekat disana, HANDIL
GEMBIRA, ANJIR.
Banjarmasin,
September 2011
Komentar
Posting Komentar