Cerpen : Kumpai Taksi
Cuaca Banjarmasin pukul 11 siang cukup panas, sebagai kota yang bisa
dikatakan maju dan cukup padat penduduknya. Ketika aku baru sampai di Terminal
Pal 6 dengan membawa tas ransel dan sebuah kardus berisikan beras untuk menuju
ke Amuntai, karena salah satu keluargaku meninggal dunia. Seorang Kernit angkutan
kota mendekatiku dan menanyakan aku mau pergi ke mana.
“Amuntaikah, ding ?” tanya Kernit yang mempunyai kumis seperti Opi
Kumis kepadaku. dan aku mengiyakan pertanyaan kernit itu, kemudian dia
mengarahkanku menuju Mobil Colt L-300 berwarna biru, sarana angkutan umum antar
kota di Kalimantan Selatan.
Kemudian aku masuk ke dalam Mobil Colt L-300, Kernit dengan senyum yang
tertutup kumis tebalnya memasukkan kardus ke dalam bagasi mobil Colt L-300
tersebut, sedangkan ranselku tetap berada di sampingku. Di dalam mobil, aku
duduk di barisan dua pling ujung, sebelah kanan, tepat di samping jendela. Aku
sengaja memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela, karena ingin merasakan
masuknya angin dan memandang pemandangan yang luas dari dalam mobil. Di sampingku
ada penumpang laki-laki yang berambut sedikit ikal sebahu, menggunakan jaket
kulit hitam, menggunakan celana jeans panjang berwarna biru muda, dan ikat
pinggang hitam dengan sarung ponsel yang terpasang di ikat pinggangnya. Di
depan tempat dudukku, seorang penumpang laki-laki yang menggunakan peci
berwarna putih, rambut pendek, baju lengan panjang berwarna putih, celana
panjang hitam, dan menggunakan jam tangan bermerk di tangan sebelah kirinya.
Dan 4 penumpang lainnya, 3 wanita, dan satunya lagi laki-laki.
20 menit kemudian angkutan kota yang ku naiki belum juga berangkat, aku
bersama penumpang lainnya menanyakan kepada sang kernit kenapa jadi lama baru
berangkat atau jalan.
“ panumpangnya masih kurang 2 urang, jadi nunggu cukup orangnya dulu
hanyar tulakan kita” jawab sang kernit.karena sekarang memang sangat sulit
mendapatkan penumpang.
Karena waktuku yang cukup harus cepat, aku mengusulkan kepada penumpang
yang lain agar membayar lebih dari ongkos biasa 45ribu menjadi 55ribu agar
jatah 2 orang penumpang tercukupi. Dan syukurlah penumpang lainnya
menyetujuinya.
Pukul 11.30 kami pun berangkat menuju kota Amuntai, disaat perjalanan aku
berbincang dengan penumpang di sampingku yang rambutnya ikal sebahu ditemani
musik dangdut yang dimainkan sang Sopir dengan tapenya yang tidak mempunyai
casing lagi..
“Dari mana pian mang” serayaku bertanya kepadanya.
“Aku dari Marabahan, ikam pang mulai mana” sahut pria ikal
tersebut seraya bertanya kembali.
“Ulun mulai Anjir mangai, pian handak kamana garang mang” tanyaku
lagi.
“aku handak ka Amuntai, ikam pang handak kamana jua” sahutnya
lagi.
“ulun gen handak ka Amuntai mangai, pian ka Amuntai kanapa garang mang”
seraya tanyaku lagi.
“aku handak pulang kampung banarai kasana, disitu pang amang lahir,
ikam pang handak maapa jua ka Amuntai” dia kembali menjawab dan bertanya
kepadaku.
“ulun handak manunti kaluwarga disana, alasannya adala kaluarga nang
kamatian” sahutku.
Sekitar 10 menit aku berbincang dengan penumpang yang duduk disampingku.
mobil terus berjalan ditemani derasnya angin alam, karena mobil tersebut tidak
mungkin acenya hidup. Melewati daerah Gambut, dan saat mendekati wilayah
Banjarbaru, mobil angkutan yang kami naiki mogok, entah apa masalah dan sebabnya,
untung saja tidak jauh dari tempat mobil kami mogok, ada bengkel mobil,
ternyata ada masalah sedikit di mesin.
Sampai di pintu gerbang kota Banjarbaru, mobil kami kembali mogok tanpa
sebab. Dan celakanya, bengkel mobil ternyata jaraknya setengah kilometer dari
tempat kami mogok. Akupun bersama penumpang lainnya kemudian dari mobil.
Tiba-tiba penumpang yang duduk di sampingku dengan rambut ikal sebahunya
berkata kepada sang sopir, supaya meletakkan rumput di depan mobil angkutan
tersebut. Mendengar perkataan itu, penumpang yang menggunakan peci putih dan
baju lengan panjangnya berkata kepada sang sopir agar tidak melakukannya.
Penumpang tersebut beranggapan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan
syirik.
“Jangan pirai, ngintu perbuatan syirik, kada usah dilakuwakan, mobil
ngini mogok paling-paling ada masalah di mesin, kadanya mau pang diandaki kumpai
mau ampih” kata lelaki berpeci dan baju putih.
Aku hanya diam sambil melihat dan berpikir apa yang aku alami dengan
perjalananku ini.
Sesaat kemudian sang sopir menghubungi temannya agar temannya
menggantikannya, 10 menit kemudian, teman sang sopirpun tiba dengan mobil yang
mirip dengan mobil yang kami tumpangi sebelumnya. Akhirnya kami berganti mobil,
perjalananpun berlanjut.
Baru mobil berjalan 7 kilometer melewati gerbang kota Banjarbaru, mobil
kami mengalami mogok lagi dengan tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Aku bersama
penumpang lainpun kembali turun dari mobil.
Dan penumpang pria berambut ikal sebahu kembali mengatakan kata-kata yang
hampir sama dengan maksud yang sama kepada sang sopir mobil yang baru kami
tumpangi. Untunglah penumpang berambut ikal sebahu itu orangnya tidak keras
kepala, dan tidak sampai menimbulkan perdebatan, beliau hanya diam dan
mendengarkan apa yang dikatakan penumpang yang menggunakan peci dan putih
kepada sang sopir.
Kemudian penumpang yang memakai peci dan baju putihpun juga kembali
mengatakan kata-kata yang mirip dengan maksud yang sama kepada sang sopir.
Tidak lama
kemudian, sang sopir mencoba menghidupkan mesin mobilnya, Alhamdulillah mesin mobil
mau dihidupkan. Aku bersama penumpang lainnya kemudian kembali masuk kedalam
mobil, dan perjalanan pun berlanjut.
Masjid Agung Al-Mukaramah, Martapura, mobil pun berhenti, karena ternyata
penumpang yang memakai peci dan baju putih berhenti disana, tidak tau persis
kenapa penumpang tersebut hanya sampai Martapura, padahal dia bayar 55ribu sama
seperti kami yang berniat menuju Amuntai.
Setelah penumpang tersebut turun, perjalanan pun berlanjut.
Dalam perjalanan aku menerima pesan singkat dari keluargaku bahwasanya
aku ditunggu sanak keluarga di sana untuk ikut menyalatkan jenazah keluargaku.
Setelah sekitar 13 kilometer mobil melaju, mobil pun kembali mogok
tiba-tiba tanpa sebab yang jelas, kami pun kembali turun dari mobil. Penumpang
berambut ikal sebahu mengatakan kata-kata yang mirip dengan tujuan sama kepada
sang sopir dan langsung meletakkan sedikit rumput di depan mobil, tepatnya
di samping plat menggunakan tali yang diikat di baut plat mobil tersebut.
Tidak lama
kemudian, sang sopir mencoba menghidupkan mesin mobil tersebut, dan Alhamdulillah
mobil mau hidup, aku bersama penumpang lainnya kemudian kembali ke dalam mobil.
Dan perjalanan pun kembali dilanjutkan.
Pulau pinang, mobil berhenti untuk istirahat dan penumpang dapat beristirahat
dan makan di warung-warung yang telah tersedia di sana.
Setengah jam kemudian, kami kembali ke dalam mobil dan melanjutkan
perjalanan. Aku merasa badanku cukup lelah karena seringnya mobil mogok yang
mengharuskan kami keluar masuk dari mobil, Dan tak kurasa diriku tertidur. Sekitar
7 kilometer sebelum memasuki kota Amuntai, aku dibangunkan penumpang yang
berada di sampingku, pria berambut ikal sebahu.
“Ding, kita parak masuk kuta amuntai sudah” berkata kepadaku
sambil tersenyum.
“Oh, Iyakah mang, makasih manglah mambangunakan ulun sudah, eh mang,
ulun kada ingat batakun, ngaran pian siapa mang”. Jawab dan tanyaku
kepadanya.
“He ehleh, kada ingat kita bakanalan, ngaranku Hadran, amun orang
amuntai biasa mengiyau aku Julak Hadran, ngaran ikam pang siapa”. Jawab
pria berambut ikal sebahu.
“Ohhhh, piankah nang ngarannya Julak Hadran yang terkanal di Amuntai bisa
manambai orang kasurupan wan macam lainnya. Ngaran ulun ahmad radi”
Seraya aku berkata sambil terkejut karena julak hadran adalah orang yang cukup
terkenal di Amuntai yang dapat menyembuhkan macam-macam penyakit yang
disebabkan makhluk gaib.
“Iya, ngini pang orangnya”.jawabnya sambil tersenyum.
“Mang, tadi pian manyuruh sopir maandaki kumpai di mutur yang kita
naiki ngini, apa hubungannya wan mutur mogok, wan jua kanapa pian kada mambahas
pas panumpang nang bakupiah putih wan baju putih ngitu manyariki sopir maandaki
kumpai di muka mutur”. Tanyaku kembali dengan rasa penasaran.
“Aku manyuruh maandaki kumpai tu, supaya mutur nang kita naiki ngini
kada muguk lagi, amang kulir mambahas nangini wan urang nang masih balum banyak
ilmunya tantang dunia urang, maandaki kumpai dimuka mutur tu kadanya syirik
pang, tapi hanya sabagai menghurmati urang lain. Alasannya aku tahu salah satu
panumpang mutur ngini ada nang handak manuju urang kamatian. Kabiasaan amun ada
urang kamatian tu, banyak jin islam yang handak umpat manyaksiakaan, jadi
maandaki kumpai tu cara gasan mahurmati jin-jin ngitu supaya kada umpat. Jadi
mutur kita kada barat dibuati jin-jin ngitu. Paham sudahlah ding”. Sahut Julak
Hadran menjelaskan seraya memegang bahuku.
Aku pun mengangguk tanda paham dengan penjelasannya.
Alhamdulillah, akhirnya aku sampai ke tempat tujuanku, Amuntai.
Anjir,
Nopember 2011
Komentar
Posting Komentar